fbpx

Vitamin Atau Painkiller? Menjadi Bagian Manakah Ide Startupmu?

Photo by Adam Nieścioruk on Unsplash

Memulai startup butuh refleksi, apakah produkmu tergolong vitamin atau painkiller?

Sekilas tentang vitamin

Sebutan vitamin di dalam artikel ini dimaksudkan sebagai analogi untuk startup yang produk atau layanannya “bagus untuk dimiliki, namun bukan untuk memenuhi kebutuhan”. Ibarat kamu minum vitamin, maka fungsinya lebih cenderung untuk mencegah dari sakit dan menjaga daya tahan tubuh. Kehadiran vitamin sebagai menjaga daya tahan tubuh terkadang menjadi hal yang mudah dilupakan karena tidak ada konsekuensi apabila kamu tidak meminum vitamin. Startup yang dikategorikan sebagai vitamin juga punya fungsi yang sama. Mereka membantu untuk melengkapi keinginan pelanggan. Contoh bisnis yang tergolong ke dalam vitamin antara lain aplikasi pencatat to-do-list dan fitness tracker.

Sekilas tentang painkiller

Di sisi lain, painkiller merupakan sebutan bagi startup yang bisa menyelesaikan masalah pelanggan dan dianggap bisa memenuhi kebutuhan mereka. Startup dengan kategori pain killer bisa menjadi penyedia solusi dari masalah yang dihadapi pelanggan. Pain killer memberikan value dengan mendorong pelanggan untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak atau justru menurunkan biaya pelanggan. Contohnya, sebuah sistem komputer dapat membantu menekan biaya operasional pengawas yang sebelumnya membutuhkan Rp100 juta per bulan, menjadi Rp30 juta per bulan. Sedangkan contoh dari bisnis yang merupakan painkiller adalah Google Maps dan Uber.

Korelasi antara painkiller dan vitamin dalam bisnis startup

Istilah vitamin dan painkiller ini muncul dari seorang Kevin Fong, venture capitalist dari Bay Area. Secara singkat, Kevin Fong mengatakan hal ini, “We divide business plans into three categories: candy, vitamins, and painkillers. We throw away the candy. We look at vitamins. We really like painkillers. We especially like addictive painkillers!”

Berangkat dari hal tersebut, istilah painkillers dan vitamin kemudian menjadi booming di dunia per-startup-an. Terutama bagi startup yang baru memulai, vitamin versus painkiller bisa menjadi refleksi; apakah startup yang dibangun ingin menjadi painkillers atau vitamin? Pertanyaan ini yang nantinya dijawab oleh produk dan layanan yang kamu tawarkan.

Apa yang harus dilakukan?

Terlepas dari startupmu tergolong dalam painkiller atau vitamin, satu hal penting yang bisa kamu lakukan adalah mengidentifikasi masalah. Ini merupakan langkah pertama yang dapat meningkatkan peluang untuk membuat produk yang tepat, namun tidak menjamin bahwa produk tersebut akan menyelesaikan masalah pelanggan. Karena sebenarnya, kuncinya adalah kamu bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan prioritas paling tinggi. Misalnya, kamu membuat produk aplikasi to-do-list yang termasuk dalam kategori vitamin. Dari sini, fokus tujuanmu adalah bagaimana membantu para pelanggan agar bisa lebih produktif dan efisien dengan produk yang kamu buat. Entah itu dengan cara menyederhanakan tampilan dan penggunaan produk atau dengan solusi lain yang kamu berikan. Untuk bisa menjawab kebutuhan mereka, maka kamu harus keluar sejenak dari aktivitas pengembangan produk. Temui pelangganmu. Gali masalah serta keresahan yang mereka miliki. Ciptakan pengalaman pelanggan yang nyaman saat menggunakan produkmu.

Perspektif lain tentang painkiller dan vitamin

Sekarang, kita mulai dengan pertanyaan, “aplikasi apa yang kamu gunakan saat mengetik?”.

Mungkin beberapa orang di antara kalian akan menjawab dengan, “aku suka menggunakan Microsoft Word.” sedangkan sebagian yang lain akan berkomentar, “kalau aku lebih nyaman menulis dengan Google Docs.”

Apa pun pilihannya, semuanya menjadi sah karena tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Kedua aplikasi ini bisa digunakan oleh siapa pun dan tetap menjalankan fungsinya, yaitu sebagai alat bantu untuk menulis (entah itu dokumen penting, artikel, cerita pendek, hingga soal ujian.)

Lalu, apakah Microsoft Word dan Google Docs ini tergolong sebagai painkiller atau vitamin?

Menurutmu bagaimana?

Sebenarnya, baik itu painkiller atau vitamin, bisa ditentukan dari pertanyaan:

  • Siapa yang menggunakan?
  • Kapan aplikasi tersebut digunakan?

Misalnya seperti ini, seorang desainer grafis yang pekerjaan sehari-harinya menggambar di komputer akan sangat jarang menggunakan aplikasi mengetik seperti Microsoft Word atau Google Docs. Desainer ini akan menganggap bahwa kedua aplikasi tersebut adalah vitamin. Lain halnya jika aplikasi Microsoft Word atau Google Docs oleh mahasiswa S1 yang sedang skripsi dan sehari-hari mengetik menggunakan aplikasi tersebut. Menurut si mahasiswa, aplikasi itu sangat membantunya dalam mengerjakan skripsi dan tergolong sebagai painkiller.

Sekarang, apakah kamu paham perbedaannya?

Contoh lain datang dari media sosial bernama Instagram. Pada tahun 2010 saat Instagram pertama kali diluncurkan, mungkin banyak orang menggunakan aplikasi ini dan menganggapnya sebagai vitamin. 10 tahun yang lalu, orang-orang menggunakan Instagram untuk bersenang-senang, mendapatkan teman baru, sampai untuk ajang ‘pamer’ di dunia maya.

Namun di tahun 2020, Instagram saat ini menjadi salah satu media sosial yang memiliki pengguna paling besar. Banyak orang menganggap bahwa Instagram adalah painkiller karena ia bisa mendatangkan ladang uang, sebut saja mereka influencer atau selebgram. Begitu pula bagi para pemilik brand, Instagram sudah menjadi senjata utama untuk membuat kampanye produk atau menarik para pelanggan agar memburu produk mereka.

Itulah mengapa bahwa ternyata dalam satu produk, bisa digolongkan menjadi painkiller sekaligus vitamin, tergantung dari siapa penggunanya dan kapan produk tersebut digunakan.

. . .

— Tulisan dibuat oleh Sofy Nito.

Bagikan artikel ini