fbpx

Pengorbanan Ketika Kamu Menjadi Seorang Startup Founder

Photo: Unsplash.com

Tidak hanya materi, pengorbanan emosi juga harus disiasati

Ketika berbicara tentang bagaimana membentuk startup, pasti kita akan dihadapkan pada topik-topik berikut: waktu, tenaga, bahkan biaya yang akan terpakai karena adanya proses perekrutan orang atau staf (staffing), biaya modal, hingga biaya akuisisi. Semua ini sifatnya erat dengan materi.

Namun, jarang sekali pembicaraan mengenai cost atau biaya yang justru paling besar dari semua biaya yang sifatnya material itu, diangkat ke permukaan, yakni: the emotional cost, atau emosi dan energi yang terpakai ketika membentuk suatu start-up atau bisnis.

Bayangkan jika kita dapat mengukur emosi yang terbuang dan terpakai oleh seseorang yang sedang dalam tahapan membuat startup atau bisnisnya. Pastinya, jumlah dalam angka tersebut adalah tak terhingga; jumlah stamina, energi, dan kesehatan secara fisik yang telah terpakai. Para pendiri startup tidak hanya berkorban dari segi finansial saja. Tentunya, para pendiri startup juga berkorban dari segi emosi dan kondisi psikologis.

Pembicaraan mengenai modal secara emosional bagi para pendiri startup ini jarang sekali diangkat, dan hal inilah yang menjadi permasalahan. Karena, cost atau hal yang dikorbankan dari segi emosional ini sifatnya tidak materiil. Semua yang dikorbankan oleh para pendiri startup dari segi well-being atau kesejahteraan dalam menjalani kehidupan, hubungan sosial sehari-hari, adalah hal-hal yang sifatnya intangible atau tidak dapat diukur.

Inilah yang menjadi sebab utama mengapa emotional cost ini jarang sekali diangkat sebagai bahan pembicaraan dalam konteks pengorbanan yang dilakukan oleh para pendiri start-up.

Artikel ini akan membahas mengenai hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam emotional cost yang dikorbankan oleh para pendiri startup. Kira-kira apa saja ya? Yuk, simak pembahasannya di bawah ini!

1) Pengorbanan Karena Harus Menjadi Penyendiri

Menjadi pendiri start-up, mau tidak mau harus siap dengan kondisi yang satu ini: menjadi penyendiri. Sebab, menjadi pendiri start-up adalah ketika seseorang akhirnya telah memutuskan untuk menjadi perintis, bukan menjadi seorang pekerja yang juga memiliki banyak rekan kerja.

Seorang pendiri startup adalah seorang pendiri dan pemrakarsa, serta seorang pemimpin — justru dari kegigihannya lah akan datang orang-orang yang akan bekerja dan bergabung di startup yang dikelolanya. Kesendirian yang dihadapi oleh para founder ini akan terbayarkan jika para pendiri gigih untuk mencari dan menarik orang untuk bekerja sama dengannya.

2) Pengorbanan Karena Harus Banyak Menunggu

Minggu berubah menjadi bulan, kemudian bulan berubah menjadi tahun.. Ini yang akan terus menerus dihadapi oleh para pendiri start-up: menunggu di tengah-tengah waktu yang terus berputar.

Mendirikan start-up pada kenyataannya memang butuh kecekatan dan kemampuan adaptasi terhadap berbagai perubahan yang tinggi. Akan tetapi, segala proses yang cepat itu tidak serta-merta membuat proses pertumbuhan start-up untuk mencapai puncaknya menjadi cepat juga. Pendiri startup akhirnya mau tidak mau juga harus siap dengan kondisi menunggu dan menghargai setiap proses kecil yang ada.

3) Pengorbanan Karena Harus Berhadapan Dengan Naik-Turun Pengembangan Start-up

Hal ini juga tak akan luput dari proses yang akan dihadapi para pendiri startup. Pada penerapannya, beberapa pendiri start-up akan menemukan saat-saat dimana startup yang sedang didirikan olehnya masih saja berada pada titik yang itu-itu saja dan tidak berkembang sama sekali.

Akhirnya, mau tidak mau hal ini juga akan mempengaruhi kondisi psikologis para pendiri start-up, apalagi jika memiliki kebiasaan membanding-bandingkan diri. Hal ini juga sering disebut dengan istilah going broke — di mana para founder harus siap dengan segala kondisi jatuh-bangun yang ada ketika dalam proses mendirikan start-up, dan siap untuk terus berjuang walaupun banyak sekali halang-rintang yang dihadapi.

4) Pengorbanan Karena Ruang Lingkup Hubungan Sosial yang Semakin Mengecil

Segala jenis hubungan baik itu pertemanan dan hubungan sosial lainnya, juga menjadi hal yang dikorbankan oleh para pendiri start-up. Sebab, para pendiri startup harus memilih satu dari dua pilihan: hidup dengan lingkaran pertemanan yang sangat luas seperti dahulu, atau rela untuk mengorbankan waktu yang ada bersama lingkaran pertemanan karena harus fokus untuk mengembangkan start-up nya.

Para pendiri start-up mau tidak mau harus menyadari bahwa lingkaran pertemanan yang dimiliki pasti akan mengecil karena tidak lagi banyak waktu yang dapat dihabiskan bersama teman-teman. Alokasi waktu sudah pasti akan lebih banyak dititikberatkan pada pengembangan startupnya.

. . .

— Tulisan dibuat oleh Lutfi Kurniawan.

Bagikan artikel ini