fbpx

Lean Startup

atau Banting Stir Startup-mu~

Bambang dan Sri, dua wirausahawan muda yang masing-masing ingin buat usaha untuk bantu petani di desa buat distribusikan hasil panen mereka supaya lebih optimal dan tepat ke konsumen.

Nah, sebagai tahap awal Bambang mulai membangun tim, menghabiskan waktu untuk ngembangin produk yg mumpuni sebaik mungkin supaya bisa dipakai siapa saja.

Sedangkan Sri berdiskusi dan berbincang dengan para petani dan teman-temannya di desa; mengembangkan projek sesuai kapasitas petani saja, nggak seperti Bambang.

Hari peluncuran tiba. Hasilnya? Para petani senang dengan apa yang Sri buat. Bambang? Nggak banyak yang berminat dengan produknya.

Lho, apa yang salah?

Membangun bisnis ataupun startup memang tantangan yang nggak akan luput dari resiko. Banyak startup yang berhasil dan menginspirasi startup lain untuk mencoba. Tapi ada pula yang harus berhenti di tengah jalan; atau malah sudah jalan dengan ceria, lalu stuck, dan terjun bebas ke titik nol. Minus. Stop. Sama seperti Bambang di cerita barusan.

Lho, apa yang salah?

Sebuah startup dimulai dengan sebuah masalah yang harus dipecahin dengan sebuah ide yang tepat sasaran. Ide itu nantinya melahirkan produk yang dikembangkan dan dilepas ke pasar untuk mengatasi masalah tersebut.

Sampai situ aja? Sayangnya nggak; belum selesai.

Startup-nya bisa aja berguna dan laris manis. Atau malah — poof! — rugi di pasaran. Lalu hilang tanpa kabar. Muntaber (mundur tanpa berita).

Untuk kecilin resiko gagalnya startup, metode “Lean Start-Up” hadir untuk membantu wirausahawan memaksimalkan startup mereka.

Apa, sih, Lean Start-Up?

Eric Ries, entrepreneur yang masih terbilang muda, punya gagasan sebuah metode bernama “Lean Start-Up” setelah gagal bangun usahanya berkali-kali. Metode ini fokus ke pengembangan produk yang lebih cepat, efisien, dan sesuai dengan apa yang konsumen butuhkan; melalui hipotesa/perkiraan. Dari feedback konsumen terhadap produk itu, nantinya pendiri startup bisa menyempurnakan produk agar tepat sesuai dengan apa yang pasar mau. Metode ini meminimalisir waktu, tenaga, dan resource biar nggak terbuang sia-sia.

Lean Start-Up berputar pada pola lingkaran; Build — Measure — Learn. Seperti apa polanya di cerita Bambang dan Sri tadi?

Sumber gambar: Bitcoininsider.org

Build

Seorang pendiri startup apa aja memulai usahanya dari sebuah gagasan/ide untuk menghadapi suatu masalah. Gagasan tersebut, nantinya, bakalan jadi rancangan usaha yang diharapkan bisa menyelesaikan masalah itu. Pada tahap ini, pendiri startup membuat hipotesis atau asumsi-asumsi yang memberi gambaran bagaimana startup mereka ke depannya, contohnya:

  1. masalah apa yang dihadapi
  2. peluang bisnis mereka;
  3. solusi apa yang bisa diberi; dan,
  4. gimana cara agar bisnisnya berjalan baik ke depannya.

Mari balik ke Bambang dan Sri. Mereka memulai usahanya dari masalah yang sama; masalah petani di desa mereka. Nah, dari sini pengembangan dari solusi itu dibuat. Tapi ada hal yang harus diperhatikan. Solusi yang dimiliki sudah tepat, belum? Apa solusi itu yang dibutuhkan calon konsumen? Apa sudah ada gambaran cara untuk memecahkan solusinya?

Di sini perbedaan Bambang dan Sri menyelesaikan masalahnya. Bambang di tahap ini mulai dengan mengembangkan produk yang baginya adalah solusi terbaik dari masalahnya. Sedangkan Sri masih membuat hipotesis dan rencana yang simpel untuk didiskusikan dengan petani nantinya. Dua arah yang berbeda, kan?

Apa yang dilakukan Sri adalah perancangan sebuah prototype yang simpel dari bisnis yang ia tawarkan. Tahap ini akan sangat membantu startup untuk meyakinkan calon konsumen kalau produk itu nantinya berguna untuk mereka. Tentu saja juga bisa untuk calon investor agar mau menanamkan modal produksi lanjutanmu, ya kan?

Selanjutnya, hipotesis di atas siap untuk diuji ke calon customer.

Measure

Pada tahap ini, pendiri startup mulai menguji produknya ke konsumen; apakah sudah tepat sesuai dengan harapan. Prototype yang sudah dibentuk pun harus sesimpel mungkin; atau dikenal dengan minimum viable product (MVP).

Kenapa harus simpel, sihMVP akan lebih mudah dan maksimal untuk diaplikasian oleh konsumen di masalah yang mereka hadapi.

Di tahap ini, konsumen dan pendiri startup akan mengetahui kapasitas dari produknya; apakah sesuai dengan yang konsumen butuhkan atau perlu diperbaiki lagi.

Dalam kasus Bambang, produknya dia buat agar bisa digunakan oleh siapa saja saat targetnya adalah petani doang; bukan untuk konsumen umum. Sudah pasti beda. Produk yang Bambang kembangkan malah sulit dipakai karena nggak sesuai dengan kapasitas yang konsumennya punya.

Lain halnya dengan Sri. Rancangan produk yang ia buat sudah ia diskusikan sebelumnya dengan konsumennya. Diskusi itu yang memberi gambaran tentang kapasitas konsumen dan kebutuhan yang mereka butuhkan. Dari sinilah seorang pendiri startup bisa melanjutkan rancangan prototype-nya jadi lebih sempurna dan punya nilai yang tepat pula untuk konsumen. Makanya produk milik Sri lebih unggul dari yang Bambang punya.

Jadi langkah yang Bambang ambil salah? Yes. Tapi nggak seterusnya juga salah. Masih ada satu tahapan lagi dalam lingkaran metode ini untuk Bambang lewati untuk berbenah, yaitu…

Learn

Setelah uji coba dilakukan di tahap sebelumnya, feedback dari konsumen untuk produk tersebut akan jadi acuan untuk startup melanjutkan bisnis. Dari titik ini, pendiri startup bisa evaluasi langkah yang sudah diambil. Perbaiki dan lanjut, tambah hipotesis baru dan uji lagi, atau banting setir dan ubah. Sama-sama menyesuaikan demand yang dibutuhkan konsumen.

Sri bisa memperbaiki produk yang ia tawarkan atau menyempurnakannya sesuai dengan kebutuhan para petani. Sedangkan Bambang bisa ikut memperbaiki prosesnya kembali atau memilih target konsumen yang tepat dengan produk yang ia sudah buat sedemikian rupa.

Dari cerita tentang Sri dan Bambang barusan, apa sih yang sudah kita pelajari dalam memulai sebuah usaha?

Perancangan sebuah usaha memang akan memakan waktu yang banyak, tenaga, dan resource material ataupun non-material. Nggak terkecuali resiko yang harus dihadapi pra ataupun pasca produk yang dibuat dilepas ke pasar. Daripada pakai metode startup tradisional, metode Lean Start-Up mengurangi resiko yang dihadapi dan pengerjaan produk akan lebih cepat lagi.

Metode ini memangkas pengeluaran tenaga ataupun resource yang nggak perlu, karena hanya fokus ke demand dari konsumen; jadi akan jauh lebih efisien. Yang lebih pentingnya lagi, penggiat startup bakalan jauh lebih paham masalah yang dihadapi di sektor yang dituju; lebih mengenal target konsumen melalui pendekatan, diskusi, ataupun uji coba produk ke mereka.

Begitu pula sebaliknya, calon konsumen pun akan lebih mengenal produk yang kamu tawarkan dan ikut serta memberi feedback; secara nggak langsung membantu bisnismu berkembang bersama dengan konsumen.

Lingkaran Lean Start-Up nggak berputar sekali aja, lho. Metode ini bisa dipakai berkali-kali di produk atau startup yang sama untuk makin menyempurnakan value dari startup itu sendiri.

Jadi, sudah siap untuk terjun lebih dalam di bisnis impianmu?

. . .

Tulisan ini dibuat oleh Adhitya Putra.

Bagikan artikel ini