fbpx

Budaya Perusahaan Terlalu Bagus, Baik atau Tanda Bahaya?

Sumber artikel dilansir dari Harvard Business Review yang ditulis oleh Timothy R. Clark.

Dalam budaya kerja perusahaan, terbentuknya keselarasan seringkali menimbulkan efek samping atau risiko lainnya. Budaya kerja yang terlampau baik seringkali memang didasari oleh niat yang tulus dan percaya pada prinsip kerja dan nilai yang saling memotivasi. Akan tetapi jika budaya kerja yang baik ini disikapi secara berlebihan, efeknya justru bisa menjadi racun.

Beberapa racun yang kerap terjadi antara lain tidak adanya komunikasi yang jujur, hadirnya ungkapan “asalkan bos senang”, dan minim inovasi dan tanggung jawab. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, mari kita kenali lebih dalam tentang bahayanya dari budaya kerja yang terlalu baik ini:

Menghambat Inovasi

Inovasi bisa tercipta karena adanya pemikiran yang beragam dan terobosan yang direalisasikan. Budaya yang terlampau baik dapat menghambat munculnya inovasi. Kebaikan dapat mengubah sekumpulan tim yang memiliki kompetensi tinggi menjadi kelompok yang pasif dan minim ide. Brainstorming bahkan perdebatan tentang ide justru memicu semangat tumbuhnya inovasi. Lain halnya jika dibandingkan dengan sekelompok orang yang mengikuti meeting dan hampir semuanya memiliki pendapat serupa dan mayoritas mengikuti hasil suara terbanyak.

Terkekang dalam Status Quo

Status quo adalah kondisi yang ada saat ini dan sedang berjalan. Pada umumnya status quo digunakan untuk menyatakan kondisi, budaya, atau kebiasaan kerja yang sudah ada dan berjalan cukup lama. Budaya kerja yang terlalu baik bisa menjadi beracun, karena akan sulit mengenali hal yang salah dan benar, ketika di depan mata semua tampak baik-baik saja. Jika terjebak dalam status quo, maka akan lebih sulit untuk mengubah sistem, memaksakan reaksi, serta perkembangan kerja menjadi stagnan.

Lama dalam Mengambil Keputusan

Budaya yang baik terkadang menciptakan situasi zona nyaman, di mana orang akan lebih enggan untuk berterus terang. Efeknya adalah, diskusi dan analisis yang terjadi dalam situasi kerja menjadi dangkal. Keraguan akan lebih kerap muncul dan menghambat proses pengambilan keputusan.

Merasa Tidak Berdaya

Norma kebaikan yang terlalu lama diciptakan dalam budaya kerja dapat menyebabkan kepasifan dan ketidakberdayaan. Ini berdampak pada menurunnya inisiatif dan standar kinerja. Budaya kerja yang terlalu baik pada umumnya membuat orang lebih malas untuk mengambil risiko, memperbaiki situasi, dan lebih memilih untuk diam.

Agar hal-hal di atas tidak terjadi, ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan, alih-alih menciptakan budaya yang baik namun beracun.

Jelaskan di Awal

Sebelum melakukan sebuah tindakan atau keputusan, jelaskan di awal tentang sistem, risiko, manfaat, dan dampak yang akan terjadi. Baik itu akan melakukan pertemuan rutin dengan tim, perekrutan, bahkan pengambilan keputusan. Terangkan harapan, standar kinerja, dan bagaimana tanggung jawab harus dilaporkan.

Akan lebih baik jika ekosistem kerja dilakukan dengan intelektual yang dapat dibuktikan, misalnya berdasarkan data, hingga melakukan umpan balik secara jujur. Memang ini tidak mudah, tapi justru lebih baik daripada tercipta budaya kebaikan yang beracun dan berdampak lebih buruk di kemudian hari. Contohnya, ketika kamu ingin mengadakan pertemuan rutin, buatlah agenda secara jelas dan output atau hasil yang diharapkan bisa tercipta dengan adanya pertemuan tersebut.

Jika agendanya adalah pertemuan untuk eksplorasi ide dan inovasi, maka beri tahu semua orang yang akan mengikuti pertemuan, dan beri tugas mereka untuk menyumbangkan ide, misalkan minimal 3 ide untuk tiap orang.

Mulai dari Lingkungan Terkecil

Budaya kerja baik yang beracun pada umumnya memiliki akar. Supaya hal ini bisa hilang secara perlahan-lahan, butuh proses dan langkah mulai dari lingkungan terkecil. Kamu bisa mulai dari lingkungan tim internal terlebih dahulu, kemudian baru ke tingkat divisi, squad, atau tingkatan tim lainnya. Akan lebih maksimal hasilnya apabila ada satu penggerak atau leader yang bisa memberi contoh. Beranilah untuk tunjukkan kesalahan, berpendapat, dan menghargai adanya kejujuran.

Ungkapan Terima Kasih

Hargai dan nilai segala masukan serta kritikan dengan rasa syukur dan terima kasih, alih-alih dihadapi dengan emosi marah atau cercaan. Adanya perbedaan pendapat dan koreksi secara bertahap akan membentuk norma dan budaya kerja yang konstruktif.

Lindungi Kejujuran

Ketika ada orang yang punya keberanian untuk menyampaikan pendapatnya secara jujur, maka hargai upaya mereka. Salah satu cara terbaiknya dengan mengurangi mengkritik balik atau mencemooh. Dengan menyikapi perbedaan pendapat, maka norma dan ekspektasi budaya yang terbangun akan lebih sehat.


Sebagai rangkuman dari artikel ini, Martin Luther King Jr. pernah menulis surat yang terkenal dari penjara Birmingham, “Pertumbuhan membutuhkan ketegangan konstruktif tanpa kekerasan.”

Untuk itu, jangan hindari ketegangan atau konflik yang konstruktif. Sikapi hal tersebut dengan bijak. Justru hal tersebut adalah kebaikan yang nyata, bukan semu seperti budaya kerja baik yang beracun.

. . .

Artikel ini telah terbit pada Buku Saku RINTISAN Edisi 13: Fintech. Silakan klik link ini untuk membaca artikel eksklusif lainnya di RINTISAN.

Bagikan artikel ini