Salah satu kunci penentu kesuksesan startup adalah budaya perusahaan yang positif dan mengakar kuat dalam setiap anggota timnya. Seperti yang dikatakan seorang venture capitalist asal Amerika, Fred Wilson, “Jika kamu ingin berada dalam bisnismu selamanya, kamu perlu membangun budaya yang menopang bisnis”. Nah, supaya perusahaanmu memiliki budaya yang kuat dan tidak masuk ke lubang, ketahui tujuh kesalahan umum yang kerap dilakukan startup ketika menciptakan budaya dan tentunya harus kamu hindari:
1. Percaya bahwa budaya terbentuk ‘begitu saja’
Banyak startup menganggap sepele budaya perusahaan dan berpikir bahwa budaya tersebut dapat dengan mudah ‘terbentuk begitu saja’. Padahal, budaya perusahaan adalah salah satu ‘investasi’ terbesar di dalam startup yang perlu dibentuk sedari awal, sebab budaya perusahaan menjadi salah satu gambaran ‘ini adalah cara kerja kami’.
Di langkah awal membangun FiveStarts, sang founder Victor Ho, tidak pernah meluangkan waktu untuk mendefinisikan budaya secara resmi — dia merasa itu terlalu “murah”. Tetapi ketika mereka tumbuh dari 40 menjadi 80 karyawan, budaya perusahaan tak mengakar kuat, sehingga karyawan berselisih tentang cara menyelesaikan pekerjaan. Seperti dikutip di Fast Company, Ho menggambarkannya sebagai “salah satu periode tersulit perusahaan.”
Well, membangun budaya perusahaan tidak perlu melulu pergi retret berbiaya mahal, atau menulis dek budaya yang rumit. Ini bisa sesederhana menuliskan lima kata yang menggambarkan budaya perusahaanmu. Lalu sebulan sekali, sebagai sebuah tim, kamu dapat membuat diskusi untuk mengkaji apakah semangat tersebut masih relevan.
2. Cuma hire kalangan terbatas alias temen sendiri
Enggak salah, kok. Mencari teman kerja membutuhkan tingkat kepercayaan yang tinggi: kamu perlu tim yang mampu bekerja keras dan membuat keputusan yang tepat, lalu tim harus percaya pada kamu dan visi kamu. Jadi wajar saja jika kamu mencari orang dari jaringan kamu yang sudah ada. Ini dapat berguna pada awalnya — tim yang homogen berkomunikasi lebih baik dan menunjukkan kohesi yang lebih besar — tetapi dapat dengan cepat menyebabkan masalah, semisal permasalahan personal yang bisa terbawa ke ranah profesional.
Hindari persoalan ini dengan menetapkan aturan, termasuk skenario terburuk (seperti memecat teman kamu). Kamu juga harus memikirkan bagaimana kamu akan mengintegrasikan orang ke dalam budaya yang ada; tujuan kamu adalah untuk mencegah ‘bubble’ atau membuat orang merasa dikucilkan dari “lingkaran dalam”.
3. Berpikir kalau hire makin banyak orang = makin sukses
Menunjukkan keberhasilan dalam membangun startup memang terasa menyenangkan. Misalnya saja, menunjukkan berapa banyak tim yang kini bergabung di startup-mu dan menceritakannya ke sekitarmu. Tetapi, jangan sampai ‘besaran tim’ membutakan matamu. Faktanya, perusahaan yang mempekerjakan terlalu banyak orang terlalu cepat cenderung terpaksa memberhentikan 11 persen dari perusahaan. Jaga semangat tim dengan menentukan ukuran kesuksesan yang lebih akurat, dan temukan cara untuk merayakan kemenangan kecil secara sederhana namun berarti.
4. Menghabiskan banyak uang untuk tunjangan demi bersaing dengan startup lain
Menjanjikan ‘tunjangan senang-senang’ adalah praktik umum di dunia startup, misalnya saja di Silicon Valley — siapa yang tak tergoda dengan makan siang sajian koki gourmet, kelas meditasi, dan layanan laundry supaya karyawan dapat bekerja lebih keras? Ingatlah bahwa tunjangan itu tidak murah: menyusutnya dana VC memaksa Dropbox untuk membatalkan tunjangan antar-jemput gratisnya dan membatasi makanan gratis.
Jika kamu benar-benar ingin tim kamu melakukan pekerjaan terbaik mereka, terlepas dari anggaran kompensasi kamu, beri mereka pekerjaan yang berarti. Tunjukkan bagaimana pekerjaan mereka berdampak langsung pada organisasi, dan bagaimana organisasi membuat perbedaan di dunia. Dengan kata lain, beri mereka tujuan. Oh, dan jangan khawatir — “tujuan” tidak harus berupa produk atau layanan yang menyelamatkan dunia (walaupun itu nilai tambah); tujuan sesungguhnya berarti kamu memiliki visi dan misi yang menarik.
(Ya tapi boleh juga sih kalau ada PS 5 di ruang kerja…)
5. Karyawan overwork, berujung burnout
Tentu, bekerja di sebuah startup adalah komitmen; bersiap kerja berjam-jam dan target yang ‘luar biasa’ tinggi. Masalahnya, bekerja terlalu keras pun berdampak buruk untuk performa perusahaan dan karyawan. Kerja dengan durasi terlalu lama nyatanya menyebabkan penurunan produktivitas dan minimnya perkembangan skill karyawan itu sendiri.
Untuk mencegah burn out di dalam perusahaan, lakukan check-in rutin dengan tim kamu untuk membantu mereka mengelola beban kerja dan tingkat stres. Dan jangan lupa, ya, buat kamu para founder: setidaknya 30 persen founder rentan mengalami depresi.
Dapat dipahami bahwa akan ada masa di mana kamu harus menghabiskan malam dan akhir pekan yang panjang di kantor, tetapi jangan sampai ini menjadi budaya kerja.
6. Tidak mempertimbangkan karakter diri para karyawan
Orang pintar memang banyak, namun tak sedikit juga yang memiliki karakter diri buruk. Jangan sampai kamu mempekerjakan talenta terbaik tetapi abai jika karakter diri mereka buruk.
Terlepas dari keahlian mereka yang unggul, kepribadian buruk akan menghancurkan budaya tim dan produktivitas perusahaan. Cara terbaik untuk menghindari masalah ini adalah dengan hati-hati menyaring orang-orang menyebalkan selama proses wawancara, semisal menandai kandidat dengan jawaban yang hanya mementingkan diri sendiri, atau berbicara tentang keburukan teman kerja atau timnya di kantor sebelumnya. Jika orang seperti ini telanjur masuk ke dalam startupmu, bicaralah dengan mereka dan jelaskan bagaimana kamu berharap perilaku mereka berubah. Jika tak juga berubah, mungkin ada baiknya untuk berkata, “I am sorry, good bye….” 🙁
7. Tidak mengindahkan peraturan yang ada di sekitarmu
Going extra miles memang sebuah langkah yang bagus untuk mencapai target. Namun, jangan sampai going extra miles berarti menerobos aturan yang ada. Sebagai contoh, Zenefits dipuji sebagai startup penggerak di industri asuransi, dan para investornya mendorongnya untuk meningkatkan target penjualannya. Sayangnya, untuk memenuhi tujuan tersebut, perusahaan mengabaikan peraturan negara — yang akhirnya mengancam stabilitas organisasi dan memaksa CEO keluar.
Sebelum melangkah, duduklah bersama founder lain dan kembali diskusikan nilai perusahaan kamu. Apa yang paling penting bagi tim kamu? Kapan kamu mungkin perlu memperdebatkan suatu tindakan sebelum bergerak maju? Diskusikan secara berkala, sehingga ketika uang dipertaruhkan dan tenggat waktu mendekat, kamu tahu apa yang kamu perjuangkan.
. . .
Gerakan Nasional 1000 Startup Digital adalah upaya bahu membahu penggerak ekosistem startup digital Indonesia untuk saling terkoneksi, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Diinisiasi sejak 2016, gerakan ini diharapkan mendorong terciptanya mencetak startup yang menjadi solusi atas masalah dengan memanfaatkan teknologi digital. #1000StartupDigital memberikan pembinaan bagi calon founder untuk membentuk tim, membuat MVP, hingga meluncurkan produknya ke pasar.
Karena Indonesia maju, #MulaiDariKamu!
. . .
— Tulisan ini dibuat oleh Sattwika Duhita.
Bagikan artikel ini