Tugas CEO sekilas tampaknya tidak ada kaitannya dengan kerja emosional yang tinggi. Dilihat dari peran dan kekuasaannya, CEO justru kerap dicitrakan sebagai profesi yang menciptakan tekanan emosional bagi orang lain dibandingkan dengan menanggung beban itu sendiri. Benarkah?
Dikutip dari artikel dari Harvard Business Review, kenyataannya justru berbanding terbalik. Peran CEO menuntut kerja emosional tingkat tinggi, meskipun banyak pengamat yang tidak mengapresiasinya. CEO diharuskan untuk menunjukkan kepercayaan publik bahkan ketika mereka mungkin memiliki keraguan pribadi. Mereka harus menyadari konsekuensi dari pengambilan keputusan sulit yang pasti akan membuat beberapa pihak tidak senang.
Mereka harus memikul tanggung jawab atas hasil yang buruk, meskipun orang lain juga bertanggung jawab atas konsekuensi tersebut. CEO harus menanggung rasa kecewa orang lain, karena sebagai figur yang mewakili perusahaan. CEO harus selalu rendah hati, berempati, dan menghibur ketika orang lain sedang putus asa secara emosional. Namun, pahitnya, ternyata salah satu aturan tidak tertulis mengenai peran CEO adalah tidak boleh membicarakan dampak emosional yang diakibatkan oleh pekerjaan tersebut di depan publik.
Kemudian, bagaimana cara yang dapat CEO terapkan dalam menavigasi perasaannya untuk meluapkan beban kerja emosional dan membantu mereka mengatasi tekanan? Simak yuk, panduan yang bersumber dari artikel dari Harvard Business Review yang ditulis oleh Nitin Nohria.
1. Mengandalkan Orang Kepercayaan
Stres dan tekanan yang timbul dari tuntutan pekerjaan terkadang menyebabkan CEO justru menarik diri dari lingkungan. Mereka memilih untuk mengasingkan diri dengan dalih ‘mencari waktu untuk berpikir’. Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Kesepian justru akan menambah stres.
Sebaliknya, CEO yang merasa stres akibat tekanan emosional di tempat kerja perlu mengandalkan orang kepercayaan untuk membagikan bebannya. CEO perlu menyadari bahwa ia tidak sendiri dan butuh bantuan orang lain untuk mendengarkan dan berbagi beban emosional.
Seringkali orang kepercayaan ini tidak ada kaitannya dengan rekan atau partner kerja. Orang kepercayaan ini pada umumnya berada di luar perusahaan. Sebut saja pasangan hidup, teman kuliah, mantan mentor, kolega, atau anggota keluarga lainnya. Dampak membagi beban emosional pada orang kepercayaan ini membawa pengaruh besar terhadap proses CEO untuk mengatasi tekanan yang muncul.
2. Menemui Penasihat Profesional
Saat startup menghadapi krisis, perusahaan sering mempekerjakan tim penasihat eksternal serta konsultan public relation. Tim penasihat ini umumnya berpengalaman menjadi konsultan dan penasihat karena memiliki banyak pengalaman dalam memahami alur krisis. Mereka juga punya sudut pandang tentang berbagai pendekatan yang berhasil dan gagal, serta punya tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap perusahaan media.
Manfaat tersebut membuat tim penasihat eksternal menjadi berharga, dan CEO perlu menemui mereka untuk melakukan konsultasi. Namun, CEO juga perlu berhati-hati dan tetap fokus pada kata ‘penasihat’, atau mendengarkan nasihat dari pihak eksternal agar tidak melakukan outsourcing.
Dengan kata lain, CEO tidak mendelegasikan dengan cara yang menyebabkan mereka hilang kendali atau justru menjauhkan diri dari kesulitan. Dalam tekanan pekerjaan emosional, CEO harus mempekerjakan dan mendengarkan penasihat terbaik. Di waktu bersamaan, CEO juga harus bisa memegang kendali dan membuat keputusan penting.
3. Menyadari Hal Tersebut, Bukan Masalah Pribadi
Secara logika, orang yang kesal punya preferensi untuk meluapkan kekesalannya pada orang lain dibandingkan pada sesuatu. Perusahaan tidak punya bentuk fisik secara nyata seperti manusia, mereka tidak berwajah. Maka dari itu, CEO sering menjadi personifikasi dan perwujudan dari perusahaan.
Maka, ketika publik melayangkan kekecewaan atau amarahnya pada perusahaan, kerapkali CEO menjadi emosional dan merasa bahwa hal tersebut ditujukan secara pribadi. CEO harus ingat bahwa pihak lain merasa tertekan terhadap perusahaan, bukan terhadap CEO secara individu.
Meskipun, mau tidak mau, CEO harus bertanggung jawab atas nama perusahaan dan harus menghindari munculnya kritik secara personal. Keterampilan seperti inilah yang harus dimiliki oleh CEO, yang umumnya akan muncul apabila mereka membangun kebiasaan dan disiplin pribadi, seperti rutin berolahraga, meditasi, atau hobi lain yang bersifat memulihkan dan membangun sikap resilience.
4. Mengantisipasi Terjadi Reaksi Emosional dari Orang Lain
Tekanan pekerjaan secara emosional akan menimbulkan dampak hadirnya reaksi emosional dari pihak lain. Untuk itu, para CEO harus mengandalkan kecerdasan emosional untuk menangani hal tersebut. Dikutip dari artikel Harvard Business Review, para CEO perlu menyadari bahwa mereka dan orang-orang terdekatnya mungkin tidak selalu menghargai perasaan konstituen yang berbeda. Maka, CEO yang cerdas dapat mengandalkan orang lain yang dapat berperan sebagai pendengar dan dapat membantu mereka memahami dan memikirkan keputusan yang bermuatan emosional.
. . .
Gerakan Nasional 1000 Startup Digital adalah upaya bahu membahu penggerak ekosistem startup digital Indonesia untuk saling terkoneksi, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Diinisiasi sejak 2016, gerakan ini diharapkan mendorong terciptanya mencetak startup yang menjadi solusi atas masalah dengan memanfaatkan teknologi digital. #1000StartupDigital memberikan pembinaan bagi calon founder untuk membentuk tim, membuat MVP, hingga meluncurkan produknya ke pasar.
Karena Indonesia maju, #MulaiDariKamu!
Bagikan artikel ini