Bagian sejumlah besar founders, startup gagal nyaris bisa dibilang suatu keniscayaan. Statistik pun mencerminkan realita yang cukup brutal di lapangan:
- 1 dari 5 startup gagal di tahun pertama
- 30% startup gagal dalam tiga tahun
- 50% startup tidak akan bertahan sampai tahun kelima
- 70% startup tutup lapak sebelum mencapai usia 10 tahun
- 90% startup pada akhirnya akan gagal setelah 10 tahun
Tingginya persentase kegagalan startup ini mungkin kerap bikin kamu bertanya-tanya, “Kok bisa gagal? Emang di mana salahnya?” Kamu dan tim tentu tidak ingin startup yang susah payah kalian bangun menambah daftar panjang statistik startup yang telah gagal.
Supaya jangan sampai terjatuh di lubang yang sama, kamu perlu tahu nih kesalahan apa saja yang banyak melatarbelakangi kejatuhan sebuah startup, entah yang belum lama dirintis maupun yang bahkan sudah menyandang gelar unicorn. Yuk, pelajari satu-satu, supaya kamu dan tim bisa belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut!
Salah Pemasaran
Marketing atau pemasaran layanan dan/atau produk bisa jadi merupakan masalah yang paling umum — dan paling fatal — bagi banyak startup.
Product-Market (not) Fit
Sejumlah besar startup mengalami kegagalan setelah menemukan bahwa ide mereka tidak product-market fit, alias tidak cocok dengan kebutuhan nyata pasar. Hal ini umumnya terjadi ketika founder tidak terlebih dulu memvalidasi pasar sebelum mulai mengerahkan waktu, tenaga, dan biaya untuk membangun startupnya.
Lemahnya Pemetaan Kompetitor
Startup yang gagal memvalidasi pasar kerap gagal pula dalam melakukan pemetaan serta analisis kompetitor. Padahal, dengan mengetahui siapa kompetitor di pasar, sebuah startup akan mampu menajamkan proposisi nilai (value proposition) dan nilai tambah (added value) inovatif yang membedakan produk/layanan dari yang lain.
Ekspektasi dan Realita Pasar Tidak Sinkron
Pada akhirnya, banyak startup gagal karena tidak mampu — atau tidak mau — berfokus pada niche pasar yang paling sesuai dengan situasi kondisi mereka. Startup terkadang punya impian muluk-muluk untuk memenuhi kebutuhan beberapa pasar secara bersamaan, padahal tidak punya kapasitas maupun sumber daya yang cukup untuk itu. Nyatanya, dengan adanya internet, sebuah startup kerap masih bisa bertahan cukup dengan melayani sebuah niche pasar kecil.
Salah Memilih atau Mengelola Tim
Startup tidak bisa dikerjakan sendirian. Founder butuh tim yang terdiri dari orang-orang berkeahlian khusus dengan visi yang sama. Itu sebabnya, banyak startup berguguran saat timya bermasalah.
Tim Kurang Pengalaman
Masalah ini kerap ditemukan, terutama di startup baru dengan founder yang baru saja atau belum lama berkecimpung di dunia per-startup-an. Kurangnya pengalaman ini bisa dalam hal target dan teknik pemasaran, teknis bisnis dan teknologi yang digunakan, maupun keuangan dan model bisnis.
Friksi Internal
Co-founders pisah kongsi dan/atau turnover rate yang tinggi sangat memengaruhi kestabilan startup, apalagi di masa-masa awal pendirian. Makanya, founders perlu bijak dalam menimbang kecocokan calon partner maupun calon anggota tim, baik dengan visi startup maupun dengan karakter satu sama lain.
Motivasi dan Ketersediaan Waktu
Startup sukses nggak cuma soal ide bagus, tapi juga soal semangat dan waktu yang dicurahkan. Kalau pendiri kurang termotivasi atau jadwal kerja mereka nggak sinkron, misalnya satu kerja full-time dan yang lain setengah hati, friksi gampang muncul. Hasilnya? Startup bisa melambat bahkan gagal. Jadi, motivasi tinggi dan komitmen waktu itu wajib.
Salah Hitung-hitungan Duit
Sejatinya, duit bukanlah penentu utama kesuksesan sebuah startup, apalagi di awal pendirian saat pengguna masih relatif kecil. Namun, seiring dengan kebutuhan startup untuk berkembang dan scale up, kebutuhan akan cuan tentunya kian signifikan.
Menariknya, masalah finansial utama yang kerap bikin startup goyang bukan soal jumlah funding-nya, tapi manajemen uang yang ada.
Monetisasi
Monetisasi adalah masalah finansial yang sebetulnya lebih mirip tantangan bisnis atau marketing. Gimana cara menghasilkan uang dari produk kamu? Gimana jadinya kalau nggak ada yang mau bayar? Inilah alasan kenapa bisnis B2B (business-to-business) dipandang lebih minim risiko dibanding B2C (business-to-consumer). Soalnya pelanggan B2B biasanya lebih mau bayar untuk solusi yang mereka butuhkan.
Profit Margin
Tergantung jenis usaha dan tingkat kejenuhan pasar, margin keuntungan tipis bisa jadi alasan utama startup gagal. Dalam dunia kuliner, misalnya, persaingan dengan metode tradisional bikin margin keuntungan sangat sempit. Kalau inovasi kamu nggak cukup optimal, bakal sulit bersaing di pasar yang udah penuh sesak.
Overspending dan Cashflow
Overspending alias pengeluaran berlebihan dan cashflow adalah dua masalah finansial yang wajib diwaspadai oleh startup, terutama setelah mulai menghasilkan uang. Pada fase awal, sebaiknya kamu fokus pada biaya esensial, seperti kebutuhan hidup founder dan operasional server. Untuk hal-hal lainnya, kamu bisa menggunakan outsource seperti freelancer atau agensi.
Itu tadi beberapa masalah yang kalau nggak hati-hati bisa bikin startup kamu gagal sebelum berkembang. Belajar dari poin-poin di atas, semoga kamu dan timmu tidak bernasib sama dengan para founders yang startupnya telah gagal.
. . .
Gerakan Nasional 1000 Startup Digital adalah upaya bahu membahu penggerak ekosistem startup digital Indonesia untuk saling terkoneksi, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Diinisiasi sejak 2016, gerakan ini diharapkan mendorong terciptanya mencetak startup yang menjadi solusi atas masalah dengan memanfaatkan teknologi digital. #1000StartupDigital memberikan pembinaan bagi calon founder untuk membentuk tim, membuat MVP, hingga meluncurkan produknya ke pasar.
Bagikan artikel ini